Rabu, 07 April 2010

Tugas Presenter

ALEX YOONG

Selain di ajang bergengsi F1 beberapa tahun lalu, sepak terjangnya bisa anda lihat pada kejuaraan A1 GP musim ini, sebagai pembalap utama tim Malaysia. Seperti apa dirinya saat sedang tidak beradu kecepatan??

Aksinya didunia balap memeang sudah tak perlu diragukan lagi. Begitu tahu ia sedang bertandang ke Indonesia, tak pelak lagi langsung kita ajak si tampan asal Malaysia untuk bertemu dan mengobrol barang sejenak.

Q = BAGAIMANA KEJUARAAN A1 GP-nya SEJAUH INI?

A = Well, ini memang sebuah kejuaraan yang sangat menarik juga menantang. Tim Malaysia sudah menjalaninya selama tiga tahun, dan makin membaik. Tak dapat dapat dipungkiri, musim lalu butuh perjuangan yang lebih besar. APalagi dengan kecelakaanyang sempat terjadi. Tapi memang itu yang namanya hidup. Tak melulu segalanya berjalan lancer dan sesuai keinginan.

Kemudian

Q = AWAL BISA TERJUN KEDUNIA BALAP?

A = Kedua orangtua saya memang berkecimpung didunia ini. Saya mengisi kekosongan agar cukup umur untuk terjun kedunia balap dengan olahraga ski air.

Q = APA YANG BIKIN ANDA BEGITU CINTA DENGAN DUNIA PENUH RESIKO INI?

A = Kebanyakan orang mungkin berpikir karena kuatnya adrenalin yang mengalir deras saat sedang dibalik kemudi. Buat saya pribadi, hal yang membuat saya jatuh cinta pada olahraga ini adalah unsure kompetisi dan pertarungan yang begitu kental. Benar-benar beda sekali rasanya.

Q = TIM MALAYSIA UNTUK A1 GP DISPONSORI OLEH PROTON. APA PENDAPAT ANDA MENGENAI PROTON?

A = Balapan pertama saya dengan proton, dan bisa dibilang saya ini dibesarkan oleh proton. Mereka bukan hanya sponsor semata, tapi sudah menjadi bagian dari tim. Dan, bukan sembarangan tim. Orang-orang paling berpengalaman dibidangnya kebanyakan berasal dari proton.

Q = MANA JENIS PROTON YANG ANDA GEMARI?

A = Hmm, saya suka tipe persona karena besar dan luas, hingga fungsinya bisa dimanfaatkan secara maksimal. Namun jika dilihat dari segi penampilan, pilihan saya jatuh pada Neo. Selain bentuknya yang compact, mobil tetap bisa untuk diajak cepat. Nah, kalau yang jenis Lotus memang dibangun untuk bertenaga tinggi dan tentu saja, luar biasa.

Q = JIKA ANDA BUKAN SEORANG PEMBALAP, APA YANG SEDANG ANDA LAKUKAN SEKARANG?

A = Pasti tetap berhubungan dengan olahraga. Ya, saya sempat jadi kameo dalam film Jackie Chan pada tahun 1995 yang berjudul Thunderbolt. Namun, tak pernah sekalipun terbayangkan untuk terjun ke industry film. Dunia balap adalah passion saya.

Baiklah demikian bincang-bincang hangat dan santai bersama Alex Yoong seorang pembalap F1 yang berasal dari Malaysia dan menjadi wakil pembalap F1 dari Asia Tenggara. Selamat siang, terima kasih, sampai jumpa.


Wawancara dengan Deputy Managing Editor Rolling Stone Indonesia, Jakarta

Adib hidayat.

Adib hidayat adalah seorang Deputy Managing Editor Rolling Stone Indonesia. Musik Indonesia, pada umumnya, jadi makin berwarna dan harkatnya–pelan namun pasti–terus terdongkrak naik ketika Adib Hidayat masuk menengahi. ketrampilannya dalam menulis, kecakapannya mengambil sudut pandang terhadap suatu isu hingga melahirkan sebuah artikel yang menarik untuk dibaca. Kesan yang muncul dari gayanya menulis: hangat, bijak, dan terukur.

Untuk itu kita hadirkan dia pada hari ini untuk berbincang-bincang dengan kita semua, akan kita kupas tuntas mengenai industry music Indonesia.

Mas Adib Hidayat kita mempunyai beberapa pertanyaan yang bisa langsung mas Adib jawab.

1. Siapa [dan/atau judul karya tulisnya] yang memotivasi Anda untuk mulai menulis?
Kalau dilihat dari kebiasaan sejak kecil saya yang sangat suka membaca. Bisa jadi dari banyak bacaan itu tampaknya kemudian yang memaksa dan memompa otak saya untuk menulis. Namun saya belum mau dan belum ada niat menulis sampai saya kuliah!.

Efek dari suka membaca sejak kelas 5 SD saya sudah berkaca-mata minus 2. Ini akibat suka membaca komik dan cerita silat bersambung di kamar di tempat gelap, karena kalau terang akan diketahui orang-tua. Dan sudah pasti saya kena marah. Saya akan kembali dipaksa belajar atau mengaji. Bukan hanya mengaji Al Quran, tapi juga kitab-kitab kuning (Jurumiah, Safinah, Tafsir Jalalen dsb…) yang dikenal di kalangan NU.

Ya, saya berasal dari keluarga NU yang sangat faham dan menyadari adanya perbedaan signifikan antara NU dan Muhammadiyah. Tipikal yang masih ortodok dengan segala perbedaan, walau dalam bendera yang sama, Islam. Sampai SMP saya sekolah dua kali. Pagi sekolah umum biasa. Sore sekolah agama, istilahnya sekolah Arab. Belajar ilmu agama Islam tentunya.

Dulu TK penyuka komik Donald Bebek. Di SD berlanjut kemudian pada Kho Ping Ho dan komik sejenis Jan Mintaraga, Abuy Ravana, Djair, Han, dan sebagainya. Berlanjut kemudian SMP pada novel-novel terjemahan yang marak saat itu. Sebut saja Lima Sekawan dan Trio Detektif. Ini yang menjadi idola saya. Imajinasi yang melayang, menikung, dan mendebarkan menarik perhatian saya. Namun saya belum mulai mencoba menulis. Tapi saya juga mulai menyukai majalah Vista. Majalah musik yang saya dapatkan di toko loak di daerah Shopping Centre di Salatiga. Di Vista ini saya menemukan tulisan dan profil band era 80-an seperti Krokus, Quiet Riot, Twisted Sisters, atau yang klasik seperti Black Sabbath, Led Zeppelin, Deep Purple, dan Genesis.

Bahkan saat masuk di jurusan Bahasa di SMA I Salatiga saya masih belum mau menulis. Saat itu saya mulai menyukai karya sastra Indonesia. Iwan Simatupang, Sutan Takdir Alisyahbana, Tulis Sutan Sati, Remy Sylado dengan puisi mbeling mulai saya kenal baik. Pula mulai menyukai cerita pendek yang bertebaran di majalah dan Koran.

Kemudian saat kuliah, saya masuk di sastra Inggris. Makin banyak karya sastra Inggris dan Amerika yang saya baca. Tidak hanya novel, naskah drama, cerpen, juga puisi dan prosa. Dari mulai era Shakespeare, Colleridge, Blake, Hardy, Fittgeralds, Jack London, Edgar Allan Poe, Raymond Carver, Tony Morrison, plus dengan teori-teori untuk melengkapi cara membaca buku-buku tersebut. Seperti post-strukturalis, naturalisme, dan juga buku-buku dari para pemikir seperti Edward Said, Lacan, Levi Straus, Derrida, Foucoult dan banyak lagi.

Namun yang paling membuat saya terkesan adalah buku No One Here Gets Out Alive karya Danny Sugerman yang bercerita tentang sosok Jim Morrison dan The Doors. Secara detail Danny Sugerman yang pernah menjadi manajer The Doors bisa masuk dalam tiap bagian buku dengan sangat detail dan selalu penuh kejutan. Seolah buku itu film bersambung yang kita selalu ingin tahu sampai dimana dan bagaimana kelanjutan karakter yang dibaca. Saya bahkan kemudian sempat mengajukan skripsi berupa telaah puisi-puisi dari James Douglas Morrison atau Jim Morrison. Namun menurut dosen saya, puisi Jim Morrison belum layak disebut sebagai karya sastra. Masih kanon.

Akhirnya saya menyusun skripsi tentang Aspek Naturalisme dan Tiga Novel Paska Perang Saudara di Amerika. Saya mengambil rujukan dari novel Red Badge of Courage, White Fang, serta satu lagi saya lupa, tapi karya Frank Norris.

Secara bersamaan saya mulai banyak membaca jurnal kebudayaan Kalam. Tulisan dari Ari Jogaiswara (dosen saya juga di sastra Inggris), Nirwan Dewanto, Hasief Amini, dan scene Kalam banyak menarik minat saya. Juga tulisan mengawang dari Bre Redana di Kompas yang kerap menulis musik namun memakai pendekatan post-strukturalis dengan memasukkan teori hiperealitas dan sebagainya.

2. Siapa figur yang banyak mempengaruhi gaya tulisan Anda?
Gaya tulisan saya awalnya banyak mengedepankan riset serta deskripsi suasana yang membuat pembaca seolah berada atau mengalami hal yang terjadi. Saya mendapat ide ini banyak dari buku No One Here Gets Out Alive karya Danny Sugerman dan Jerry Hopkins. Kemudian ternyata gaya seperti itu mendekati teknik Jurnalisme Sastrawi yang banyak dikenalkan oleh Andreas Harsono dan sindikasi Pantau. Mungkin buku-buku sastra yang saya baca ikut membentuk teknik saya ini. Walau harus digaris bawahi detail tentang teknik Juranalisme Sastrawi bukan semata menulis tentang hal-hal dengan pendekatan sastra. Tom Wolfe memulai gerakan ini di Amerika Serikat pada 1960-an dan bagaimana suratkabar-suratkabar Amerika mengambil elemen-elemen genre ini. Atau Hiroshima karya John Hersey. Ini sebuah karya klasik, dimuat majalah The New Yorker pada Agustus 1946, yang pernah dipilih sebuah panel wartawan dan akademisi Universitas Columbia sebagai naskah terbaik jurnalisme Amerika pada abad XX. Tidak ada figur personal yang menjadi patokan atau rujukan utama dalam menulis.

3. Sebutkan dan ceritakan sebuah momen yang tidak mungkin terlupakan sepanjang karir jurnalistik Anda?
Saya dulu suka mimpi, majalah Rolling Stone masuk di Indonesia. Dan mimpi itu menjadi nyata.

4. Sebelumnya, eksistensi seorang penulis–salah satunya–diukur dari seberapa kerap karya-karyanya dipublikasi di media cetak umum konvensional. Sekarang mulai bermunculan nama-nama baru yang dikenal bahkan di hormati melalui karya-karyanya yang dimuat dunia maya. Bagaimana pendapat Anda mengenai fenomena ini?
Media cuma sebatas wadah. Media cetak lewat majalah, koran, atau jurnal, maya, atau zine. Seorang Andreas Harsono menurut saya lebih dikenal dengan blog dia saat ini daripada jaman di Pantau. Rudolf Dethu dikenal baik di dunia maya berkat tulisan yang memakai struktur era Majapahit bercampur teori-teori ilmiah yang memiliki ciri khas yang menarik.

5. Era digital dituduh sebagai pemicu utama pembajakan. Baik secara masal maupun personal. Bagaimana pandangan Anda – sebagai penulis yang banyak berkonsentrasi pada dunia musik – terhadap situasi tersebut?
Ini efek bola salju dan tindakan terburu-buru label menurut saya. Dulu saat Napster dianggap menjadi masalah, pihak label heboh malah melakukan tuntutan dan meminta Napster ditutup. Padahal masa depan itu ada dalam format digital. Jika saja saat itu langsung ada sebuah peraturan yang mengatur fungsi media digital untuk menyimpan dan kemudian bisa diunduh secara legal pasti tidak akan separah saat ini.

Kondisi saat ini sudah diluar kendali.

Jika di Indonesia bajakan itu ibaratnya narkoba yang dijual bebas. Nilai yang berputar di bajakan saya berani jamin lebih besar dari perputaran narkoba yang ada di Indonesia. Ini bisnis trilyunan rupiah dan pemerintah masih buta (atau pura-pura buta) pada kondisi yang ada.

Untuk dunia digital di dunia maya ini juga sudah parah. Berbagai engine untuk melakukan unduh lagu atau menyimpan lagu sangat mudah dicari dan tinggal googling semua beres. Tersedia komplit. Tinggal sedot. Cari artwork di amazon. Dan jadikan sebagai playlist di iPhone atau iPod Anda. Atau simpan dalam format MP3 tampung dalam CD kosong murahan dan putar di mobil saat pulang kerja atau kuliah. Semudah itu.

Jangan salahkan kami jika hendak mengetahui update sebuah lagu atau band yang lagu atau band tersebut tidak di rilis atau beredar versi import kami akan lari ke dunia maya. Semua tersedia. Namun saya pribadi termasuk kolektor yang masih suka memegang artwork dan membalik-balik sleeve kover sebuah album. Saya selalu membeli album, terutama import. Tidak hanya yang baru. Kawasan Jalan Surabaya, Taman Puring, atau di DU di Bandung menjadi lokasi hunting yang menarik. Hunting CD bekas jauh lebih mengasikkan. Terakhir saya akhirnya dapat CD Sacred Reich album American Way dan Independent. Ini CD langka. Saya masih mencari CD Massacre album From Beyond.

Dengan membeli CD saya suka memperhatikan siapa yang menjadi produser. Atau menemukan nama-nama dibalik proses produksi album, Terry Date, Brendan O’Brien, Steve Albini, John Alagia, Chris Lord-Alge, atau menemukan si pembuat artwok apakah dibuat oleh Roger Dean, Hipgnosis, Hugh Shyme, Arik Ropper, Paul Romana, James Jean dan sebagainya. Saya sampai saat ini bisa saling korespondensi dengan Hugh Shyme dan Paul Romano.

6. Kemana arah industri musik, khususnya Indonesia, di masa mendatang?
Akan berputar terus. Tapi di Indonesia lagu yang enak dan mudah dicerna masih menjadi jualan paling signifikan. Peran TV seperti SCTV yang menampilkan semua band dari kelas A, B, C, D sampai Z ikut menyebarkan virus ini. MTV saat ini menurut saya kehilangan pola, lagu yang diputar terkadang tidak bersinergi dengan sebuah album yang sedang menjadi best seller atau lagunya diputar di radio tertentu. Namun peran TV masih ampuh. Kwantitas kemunculan band di TV bisa sangat membantu penjualan RBT mereka.

7. Apa saran Anda bagi para pelaku seni musik untuk menyikapinya [terkait dengan pertanyaan no.5 & 6]?
Carilah uang dengan cara membuat lagu yang mudah dicerna dan diterima pasar. Jika sudah kaya dari produk tersebut bikinlah karya idealis. Idealis separah Frank Zappa, Fantomas, Mr. Bungle, Boris, Tomahawk, Peeping Tom atau John Zorn jika mau. Saya pikir musisi juga perlu makan. Idealis kadang selalu memiliki musuh bernama pasar. Namun akan lebih baik jika mereka masih bisa berkarya yang mudah diterima namun masih dalam koridor kelayakan sebuah komposisi.

Nantinya media akan menyerap sendiri. Bisa jadi konsep album bergaya A tidak akan cocok di media B. Namun sebaliknya band atau album milik C malah diterima dengan gempita di media B. Dan fungsi media adalah untuk menjadi pemantau dari banyaknya rilisan yang muncul. Katakanlah jika media semua memuat artis apa saja yang memiliki rilisan dengan kualitas entahlah. Akan menjadi gado-gado yang tidak bagus bagi media tersebut. Akan menjadi seperti asal muat. Asal Bapak Senang. Ini yang harus dihindari. Terkadang gesekan muncul jika band teman minta dimuat atau di review. Tapi sudah seharusnya kita bisa jujur dalam hal itu. Bukan asal teman lantas ditulis bagus.

8. Bila melihat peta musik internasional, dimana posisi Indonesia dalam kurun 10 tahun terakhir?
Kita masih akan menjadi salah satu Negara pembajak paling besar. Untuk urusan musik saya pikir bisa main di kelas festival di negara-negara lain akan lebih terbuka. Istilahnya main di Singapura dan Malaysia saat ini semudah main di Jogja atau Bandung. Link ke Asia sudah terbentuk. Tinggal materi yang akan dibawa ke negara lain itu harus benar-benar dipersiapkan. Supaya link ke Eropa atau Amerika bisa terbentuk. White Shoes & The Couples Company sudah memberi contoh yang baik. Akar musik pop Indonesia mereka kuat. Mereka di sign oleh Minty Fresh, label cukup terkemuka di scene indie Amerika. Mereka diundang main di SXSW di Austin. Satu gig dengan R.E.M., My Morning Jacket dan Lou Reed. Bahkan kalau tidak telat mereka akan tampil bersama 9 band lain untuk tampil di Lou Reed Nite bersama dengan Sonic Youth, Kim Deal, J.Mascis, dan sebagainya.

9. Secara pribadi, apa mimpi terbesar Anda pada musik Indonesia di 10 tahun mendatang?
Pemerintah atau nanti presiden baru benar-benar faham dunia musik. Musik sama pentingnya dengan olah-raga. Musik sama pentingnya dengan kesehatan. Juga bermimpi ada beberapa gedung pertunjukan yang menampung ragam musik dari berbagai genre. Berharap divisi merchandise untuk band bisa dikembangkan dan menjadi warisan yang sama mahalnya seperti halnya CD atau kaset yang menjadi barang langka. Saya mungkin akan bangga menyimpan kaos tur Roxx di Soundrenaline tahun 2004 jika dikemas dengan sangat baik. Band dan manajmen kudu membuka diri. Membuka mata di dunia maya. Rajin membaca.

Demikian wawancara kita bersama Mas Adib hidayat, banyak informasi yang kita dapati dari Deputy Managing Editor Rolling Stone Indonesia ini. Saya ucapkan terima kasih dan sampai jumpa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar